Kamis, 03 Mei 2018

Riba



Asal makna riba menurut bahasa Arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini menurut syara’ riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya. Istilah riba pertama kalinya di ketahui berdasarkan wahyu yang diturunkan pada masa awal risalah kenabian dimakkah kemungkinan besar pada tahun IV atau awal hijriah ini berdasarkan pada awal turunya ayat riba3. Para mufassir klasik berpendapat, bahwa makna riba disini adalah pemberian.
Secara umum, riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.

Ø  Definisi riba menurut para ahli
·   Menurut Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi, al-Maliki, riba adalah tambahan tetapi dalam al-Qur’an riba adalah setiap penambahan yang diambil  tanpa adanya pengganti yang dibenarkan oleh syariah.
·      Menurut hanafiah, riba adalah tambahan yang kosong dari ganti dengan standar syar’I yang diisyaratkan kepada orang yang bertransaksi.
·  Menurut Imam Al-‘arabiy, riba adalah segala tambahan yang disertakan adanya pertukaran kompensasi.
·      Menurut Suyuthiy, riba adalah tambahan yang dikenakan dalam bentuk uang maupun makanan, baik dalam bentuk kadar maupun waktunya.
·    Menurut Imam Sarakshiy, riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa  adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.

Ø  Kesimpulan:
Sudah jelas bahwa riba itu dilarang dengan tahapan tahapan yang sama dengan pengharaman nya. Dari uraian diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa:
Riba dengan tambahanatau kelebihan  pembayaran tanpa ada ganti maupun imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari kedua belah pihak yang membuat akad atau sedang melakukan transaksi dalam tukar-menukar.

Jumat, 30 Maret 2018

PSAK dan UU NO.21/2008


Pernyataan Standar Akuntansi Syariah (PSAK) 59 dan UU NO.21/2008

Ø  PSAK 59

PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No. 59  merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengenai Akuntansi Perbankan Syari’ah. Standar ini banyak merujuk pada AAOIFI.  Di Indonesia pada awal 1992-2002 atau 10 tahun Bank Syariah tidak memiliki PSAK khusus. Para ahli dan pakar praktisi akhirnya mengesahkan PSAK 59 sebagai dasar hukum dari standar akuntansi perbankan syariah di Indonesia.
Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia berpedoman terhadap PSAK no. 59 yang diadobsi dari AAOIFI singkatan Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, lembaga regulasi keuangan Islam internasional yang berkedudukan di Abu Dhabi, UEA. AAOIFI telah mengeluarkan Standar Akuntansi dan Auditing untuk lembaga keuangan Islam (Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions) tahun 1998.
PSAK ini disahkan tgl 1 Mei 2002, berlaku mulai 1 Januari 2003 atau pembukuan yang berakhir tahun 2003. Berlaku hanya dalam tempo 5 tahun. Berdasarkan pernyataan yang dikutip dari SAK Mei 2002, menjelaskan tentang: “PSAK No.59 adalah awal lahirnya standar mengenai akuntansi syariah. PSAK No. 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 1 Mei 2002. Walaupun PSAK 59 sudah tidak berlaku lagi, namun inilah tonggak dari keperluan kita akan akuntansi syariah”.
PSAK 59 adalah  pernyataan yang bertujuan untuk mengatur perlakuan akuntansi (pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan) transaksi khusus yang berkaitan dengan aktivitas bank syariah. Ruang lingkup dalam pernyataan ini diterapkan untuk bank umum syariah, bank perkreditan rakyat syariah, dan kantor cabang syariah bank konvensional yang beroperasi di Indonesia. Hal-hal umum yang tidak diatur dalam pernyataan ini mengacu pada PSAK yang lain dan/atau prinsip akuntansi yang berlaku umum sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pernyataan ini bukan merupakan pengaturan penyajian laporan keuangan sesuai permintaan khusus (statutory) pemerintah, lembaga pengawas independen, dan bank sentral (Bank Indonesia).
PSAK Syari’ah yang ada saat ini diterapkan sebagai pedoman perbankan syari’ah dalam membuat laporan keuangan dan menentukan tindakan atas berbagai aktifitas yang berkaitan dengan produk & jasa perbankan syari’ah sehingga bisa dilihat sharia compliance nya dan menjadi pertimbangan tersendiri bagi para stakeholders.



Ø  UU No 21/2008

Perbankan syariah dalam artian bank tanpa bunga atau bank dengan prinsip perjanjian bagi hasil sudah mulai diperkenalkan di negara kita sejak awal tahun 1990-an. Kemudian ditetapkan di dalam undang-undang no 21 tahun 2008 (LN tahun 2008 no 94) tentang perbankan syariah yang ditetapkan dan mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008. Sebelum ditetapkannya undang-undang no 21 tahun 2008 pengaturan tentang perbankan syariah sudah dilakukan dalam beberapa undang-undang dan peraturan bank Indonesia belum memadai.
Pasal 1 angka 1 undang-undang no 21 tahun 2008 menyebutkan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencangkup kelembagaan kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
UU No.21 tahun 2008 menjelaskan mengenai Perbankan syariah :
§  Bab I berisi tentang Ketentuan Umum
Pada Bab 1 pasal 1 berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari pengertian : Perbankan Syariah, Bank, Bank Indonesia, Bank Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank Pekreditan Rakyat, Bank Syariah, Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Unit Usaha Syariah, Kantor Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia Bank, Pihak Terafiliasi, Nasabah, Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas, Simpanan, Tabungan, Deposito, Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan, Wali Amanat, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan.

§  Bab II berisi tentang Asas, Tujuan, dan Fungsi
Pada Bab II terdiri dari 3 pasal, pada bagian pertama membahas mengenai Asas Perbankan. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Tujuan Perbankan Syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan fungsi Bank Syariah adalah :
a.       Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
b.      Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal
c.       Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
d.      Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.

§  Bab III akan dijelaskan tentang Perizinan, Bentuk Badan Hukum , Anggaran Dasar, dan Kepemilikan.
Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia. Dengan syarat harus memenuhi sekurang-kurangnya : susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan syariah dan kelayakan usaha.

§  Bab IV berisi tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi Bank Syari’ah dan UUS
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan BankPembiayaan Rakyat Syariah.Kegiatan usaha Bank Umum Syariah menghimpun dan menyalurkan dana pihak ketiga serta memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi sesuai prinsip syariah dan melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah. Salah satu yang dilarang pada Bank Umum Syariah yaitu melakukan penyertaan modal, sedangkan pada UUS, salah satu larangnnya adalah melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prisip syari’ah.

§  Bab V berisi tentang pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing
Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.Dan pemegang saham pengendali yang tidak lulus ujikemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan sahamnya menjadi paling banyak 10%. Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan,tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar BankSyariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Dewan pengawas Syariah diangkat oleh rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing. Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

§  Bab VI berisi tentang tata kelola, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko Perbankan Syariah
Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya. Dimana  Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko,prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.

§  Bab VII berisi tentang rahasia bank
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. Salah satu informasi Bank dapat disampaikan ke pihak lain yang berkepentingan jika digunakan untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak.

§  Bab VIII berisi tentang pembinaan dan pengawasan
Tugas pengawasan Bank Indonesia berwenang :
1.      Memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan Bank
2.      Memeriksa dan mengambil data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank
3.      Memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening Pembiayaan.

§  Bab IX berisi tentang penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad dan juga tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

§  Bab X berisi tentang sanksi administrative
Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya.

§  Bab XI berisi tentang ketentuan pidana
Memberikan paparan mengenai sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada para pelanggan undang-undang ini.